Selasa, 12 November 2013

AKHLAK



A.  Pengertian dan Ruang Lingkup Akhlak serta Perbedaannya dengan Moral dan Etika

Kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluq, artinya tingkah laku, perangai, tabiat. Sedangkan menurut istilah, akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnungkan lagi. Menurut Imam al-Ghazali, "Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan terlebih dahulu."  Menurut Ibnu Maskawih, "Akhlak ialah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa pertimbangan akal fikiran terlebih dahulu.” Menurut Profesor Dr Ahmad Amin, "Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan dan ia akan menjadi kebiasaan yang mudah dilakukan."

Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah. Sebaliknya apabila buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlakul mazmumah. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Alquran dan Sunnah Rasul.

Di samping akhlak dikenal pula istilah moral dan etika. Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik–buruk yang diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan.

Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu, Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena itu yang menjadi standar baik dan buruk itu adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Moral bersifat lokal atau khusus dan etika bersifat umum.

Perbedaan antara akhlak dengan moral dan etika dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran baik dan buruk yang digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Alquran dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau kesepakatan yang dibuat oleh suatu masyarakat, jika masyarakat menganggap suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu. Dengan demikian standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi.

Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata sehari–hari. Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana disabdakannya :
“Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”
(Hadis riwayat Ahmad)

Secara umum dapat dikatakan bahwa akhlak yang baik pada dasarnya adalah akumulasi dari aqidah dan syariat yang bersatu secara utuh dalam diri seseorang. Apabila aqidah telah mendorong pelaksanaan syariat akan lahir akhlak yang baik, atau dengan kata lain akhlak merupakan perilaku yang tampak apabila syariat Islam telah dilaksanakan berdasarkan aqidah.


B.  Akhlak terhadap Allah, Manusia dan Lingkungan Hidup

Menurut obyek atau sasarannya terdapat akhlak terhadap Allah, akhlak kepada manusia dan akhlak kepada lingkungan.

1.    Akhlak kepada Allah
a.    Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. seorang muslim beribadah membuktikan ketundukan dan kepatuhan terhadap perrintah Allah. Berakhlak kepada Allah dilakukan melalui media komunikasi yang telah disediakan, antara lain ibadah salat.

b.    Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah :

     “Ingatlah, dengan zikir kepada Allah akan menentramkan hati.”
     (Ar-Ra’d, 13:28)

c.    Berdoa kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Doa merupakan inti ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan doa dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan akal manusia. Oleh karena itu, berusaha dan berdoa merupakan dua sisi tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktifitas hidup setiap muslim.
     Orang yang tidak pernah berdoa adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong; suatu perilaku yang tidak disukai Allah.

d.   Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan.

     “Dan kepunyaan Allah-lah segala rahasia langit dan bumi, dan kepada-Nyalah dikembalikan segala urusan. Oleh karena itu sembahlah Dia dan bertakwalah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan melupakan apa yang kamu kerjakan.” (Hud, 11:123)

     Tawakal bukanlah menyerah kepada keadaan, sebaliknya tawakal mendorong orang untuk bekerja keras karena Allah tidak menyia-nyiakan manusia. Setelah bekerja keras apa pun hasilnya akan diterimanya sebagai sesuatu yang terbaik bagi dirinya, tidak kecewa atau putus asa.

e.    Tawaduk kepada Allah adalah rendah hati di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah Yang Mahakuasa, oleh karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Nabi bersabda :

     “Sedekah tidak mengurangi harta dan Allah tidak menambah selama kehormatan pada seseorang yang memberi maaf. Dan tidak seorang yang tawaduk secara ikhlas karena Allah, melainkan dia dimuliakan Allah.” (Hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

     Oleh karena itu tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bertawaduk kepada Allah karena manusia diciptakan dari bahan yang hina nilainya, yaitu tanah.

2.    Akhlak kepada manusia
a.    Akhlak kepada diri sendiri
1)   Sabar adalah perilaku sesorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang menimpanya. Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi larangan, dan ketika musibah dari Allah.

     Sabar melaksanakan perintah adalah sikap menerima dan melaksanakan segala perintah tanpa pilih -pilih dengan ikhlas. Sedangkan sabar dalam menjauhi larangan Allah adalah berjuang mengendalikan diri untuk meninggalkannya. Sabar terhadap musibah merupakan gambaran jiwa yang tenang dan keyakinan yang tinggi terhadap Allah, karena itu pantaslah kalau Allah menghapus dosa-dosanya sebagaiman asabda Nabi :

     “Tidak ada seorang muslim yang terkena suatu gangguan, baik berupa duri atau lebih dari itu, melainkan akan menghapus kesalahannya dan menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun dari pohon.”
     (Hadis riwayat Bukhar dan Muslim)

2)   Syukur adalah sikap berterima kasih atas pemberian nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah memuji Allah dengan bacaan hamdalah, sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan keharusannya, seperti bersyukur diberi penglihatan dengan menggunakannya untuk membaca ayat-ayat Allah baik yang tersurat dalam Alquran maupun yang tersirat pada alam semesta.
     Orang yang suka bersyukur terhadap nikmat Allah akan ditambah nikmat yang diterimanya sebagaimana firman-Nya :

     “Kalau kalian bersyukur, tentu Aku akan menambah (nikmat) untukmu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim, 14:7)

3)   Tawaduk, yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang tua, muda, kaya atau miskin. Sikap tawaduk lahir dari kesadaran akan hakikat dirinya sebagai manusia yang lemah dan serba terbatas yang tidak layak untuk bersikap sombong dan angkuh di muka bumi. Allah berfirman :

     “Janganlah kamu palingkan mukamu dari manusia dan jangan kamu berjalan di muka bumi dengan sombong.” (Luqman, 31:18)

     Sikap tawaduk melahirkan ketenangan jiwa, menjauhkan dari sifat iri dan dengki yang menyiksa diri sendiri dan tidak menyenangkan orang lain.

b.   Akhlak kepada ibu bapak
Akhlak kepada ibu bapak adalah berbuat baik kepada keduanya (birrul walidain) dengan ucapan dan perbuatan. Allah mewariskan agar manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapak sebagaimana firman-Nya :

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (Luqman, 31:14)

Dalam ayat di atas Allah menyuruh manusia untuk berbakti kepada ibu bapak dengan cara mengajak manusia untuk menghayati pengorbanan yang diberikan ibu ketika mengandung, melahirkan, merawat dan mendidik anaknya. Karena itu doa yang diajarkan Allah untuk orang tua diungkapkan sedemikian rupa dengan mengenang jasa mereka :

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua (orang tuamu) dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah : “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik dan merawatku dengan penuh kasih sayang ketika aku kecil.” (Al-Isra, 17:24)

Berbuat baik kepada ibu bapak dibuktikan dalam bentuk-bentuk perbuatan antara lain :
· Menyayangi dan mencintai ibu bapak sebagai bentuk terima kasih dengan cara bertutur kata yang sopan dan lemah lembut,
· Menaati perintah,
· Meringankan beban,
· Menyantumi mereka jika sudah tua dan tidak mampu lagi berusaha.
 
     Berbuat baik kepada orang tua tidak hanya ketika mereka hidup, tetapi terus berlangsung walaupun mereka telah meninggal dunia dengan cara mendoakan dan meminta ampunan untuk mereka, mencapai janji mereka yang belum terpenuhi, meneruskan silaturahmi dengan sahabat-sahabat sewaktu mereka hidup. Hal ini diungkapkan Nabi :

     Dari Abi Usaid ia berkata : Ketika kami duduk di sisi Rasulullah saw., tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah seraya bertanya : “Ya Rasulullah, apakah masih bisa saya berbuat baik kepada kedua ibu bapakku sedangkan mereka telah meninggal dunia?”
     Rasulullah menjawab : “Ya, (yaitu. dengan jalan) mendoakan keduanya, meminta ampun bagi keduanya, menepati janji keduanya, memelihara silaturahmi yang pernah dibuat keduanya dan memuliakan teman-temannya. (Hadis riwayat Abu Daud)

c.    Akhlak kepada keluarga
Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkan kasih sayang di antara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi. Komunikasi dalam keluarga diungkapkan dalam perhatian baik melalui kata-kata, isyarat-isyarat, maupun perilaku. Komunikasi yang didorong oleh rasa kasih sayang yang tulus akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Apabila kasih sayang telah mendasari komunikasi orang tua dengan anak, maka akan lahir wibawa pada orang tua. Demikian sebaliknya, akan lahir kepercayaan orang tua pada anak. Oleh karena itu kasih sayang harus menjadi muatan utama dalam komunikasi semua pihak dalam keluarga.

Dari komunikasi semacam itu akan lahir saling keterikatan batin, keakraban, dan keterbukaan di antara anggota keluarga dan menghapuskan kesenjangan di antara merka. Dengan demikian rumah bukan menjadi tempat tinggal (home) yang damai dan menenangkan, menjadi surga bagi para penghuninya. Melalui komunikasi seperti itu pula dilakukan pendidikan dalam keluargam yaitu menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak sebagai landasan bagi pendidikan yang akan terima pada masa-masa selanjutnya.

Pendidikan yang ditanamkan dalam keluarga akan menjadi ukuran utama bagi anak dalam menghadapi pengaruh yang datang kepada mereka di luar rumah. Dengan dibekali nilai-nilai dari rumah, anak-anak dapat menjaring segala pengaruh yang datang kepadanya. Sebaliknya anak-anak yang tidak dibekali nilai dari rumah, jiwanya kosong dan akan mudah sekali terpengaruh oleh lingkungan di luar rumah. Inilah yang dimaksud dengan ayat :

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) ada lah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman, 31:13)

Nilai esensial yang dididikkan kepada anak di dalam keluarga adalah aqidah, yaitu keyakinan tentang eksitensi Allah. Apabila keyakinan terhadap Allah ini telah tertanam dalam diri anak sejak dari rumah, maka kemana pun ia pergi dan apa pun yang dilakukannya akan hati-hati dan waspada karena merasa diawasi oleh Allah.

3.    Akhlak kepada lingkungan hidup
Misi Agama Islam adalah mengembangkan rahmat bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan hidup, sebagaimana firman Allah :

“Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad)melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Al-Anbiyaa’, 21:107)

Misi tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah di muka bumi, yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan, mengelola, dan melestarikan alam. Berakhlak kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya.

Memakmurkan alam adalah mengelola sumber daya sehingga dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia tanpa merugikan alam itu sendiri. Allah menyediakan bumi yang subur ini untuk disikapi oleh manusia dengan kerja keras mengolah dan memeliharanya sehingga melahirkan nilai tambah yang tinggi sebagaimana firman-Nya:

“Dia menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian sebagai pemakmurnya.” (Hud, 11:61)

Kekayaan alam yang berlimpah disediakan Allah untuk disikapi dengan cara mengambil dan memberi manfaat dari dan kepada alam serta melarang segala bentuk perbuatan yang merusakkan alam. Firman Allah :

“... dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qasas, 28:77)

Alam dan lingkungan yang terkelola dengan baik dapat memberi manfaat yang berlipat-lipat, sebaliknya alam yang dibiarkan merana atau hanya diambil manfaatnya akan mendatangkan malapetaka bagi manusia.

Akibat akhlak yang buruk terhadap lingkungan dapat disaksikan dengan jelas bagaimana hutan yang dieksploitasi tanpa batas melahirkan malapetaka kebekaran hutan yang menghancurkan hutan dan habitat hewan-hewannya. Eksploitasi kekayaan laut yang tanpa memperhitungkan kelestarian ekologi  laut melahirkan kerusakan hebat habitat hewan laut.

Semua itu karena semata-mata mengejar keuntungan ekonomis yang bersifat sementara, mendatangkan kerusakan alam yang parah yang tidak bisa direhabilitasi dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun.

Inilah persoalan yang dihadapi oleh manusia pada abad ini, apabila tidak diatasi akan dapat menghancurkan lingkungan sekaligus mendatangkan malapetaka yang hebat bagi manusia itu sendiri. Firman Allah :

“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Ruum, 30:41)

Kerusakan alam dan ekosistem di lautan dan daratan terjadi akibat manusia tidak sadar, sombong, egois, rakus, dan angkuh; bentuk akhlak terhadap lingkungan yang buruk dan sangat tidak Terpuji.


Referensi:
Toto Suryana, Drs, M.Pd, dkk.1997. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Bandung:Tiga Mutiara.

0 komentar:

Posting Komentar