A. Pengertian dan Ruang Lingkup Akhlak
serta Perbedaannya dengan Moral dan Etika
Kata akhlak merupakan
bentuk jamak dari kata khuluq, artinya
tingkah laku, perangai, tabiat. Sedangkan menurut istilah, akhlak adalah daya
kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir
dan direnungkan lagi. Menurut Imam
al-Ghazali, "Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan
pertimbangan terlebih dahulu." Menurut
Ibnu Maskawih, "Akhlak ialah
keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
pertimbangan akal fikiran terlebih dahulu.” Menurut Profesor Dr Ahmad Amin, "Akhlak ialah kehendak yang
dibiasakan dan ia akan menjadi kebiasaan yang mudah dilakukan."
Dengan demikian akhlak
pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan
diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu
baik menurut akal dan agama, maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah. Sebaliknya apabila
buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlakul
mazmumah. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu
Alquran dan Sunnah Rasul.
Di samping akhlak
dikenal pula istilah moral dan etika. Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Moral
selalu dikaitkan dengan ajaran baik–buruk yang diterima umum atau masyarakat.
Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik dan
buruknya suatu perbuatan.
Etika adalah sebuah
tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu,
Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena itu yang menjadi
standar baik dan buruk itu adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan moral,
maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Moral
bersifat lokal atau khusus dan etika bersifat umum.
Perbedaan antara akhlak
dengan moral dan etika dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran
baik dan buruk yang digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan
Alquran dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat
atau kesepakatan yang dibuat oleh suatu masyarakat, jika masyarakat menganggap
suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu. Dengan demikian
standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar
akhlak bersifat universal dan abadi.
Dalam pandangan Islam, akhlak
merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang
baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus
ditampilkan dalam perilaku nyata sehari–hari. Inilah yang menjadi misi
diutusnya Rasul sebagaimana disabdakannya :
“Aku hanya diutus untuk
menyempurnakan akhlak manusia”
(Hadis
riwayat Ahmad)
Secara umum dapat
dikatakan bahwa akhlak yang baik pada dasarnya adalah akumulasi dari aqidah dan
syariat yang bersatu secara utuh dalam diri seseorang. Apabila aqidah telah
mendorong pelaksanaan syariat akan lahir akhlak yang baik, atau dengan kata
lain akhlak merupakan perilaku yang tampak apabila syariat Islam telah
dilaksanakan berdasarkan aqidah.
B. Akhlak terhadap Allah, Manusia dan
Lingkungan Hidup
Menurut obyek atau
sasarannya terdapat akhlak terhadap Allah, akhlak kepada manusia dan akhlak
kepada lingkungan.
1.
Akhlak
kepada Allah
a.
Beribadah kepada Allah, yaitu
melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya.
seorang muslim beribadah membuktikan ketundukan dan kepatuhan terhadap
perrintah Allah. Berakhlak kepada Allah dilakukan melalui media komunikasi yang
telah disediakan, antara lain ibadah salat.
b.
Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat
Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun
dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati
sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah :
“Ingatlah,
dengan zikir kepada Allah akan menentramkan hati.”
(Ar-Ra’d, 13:28)
c.
Berdoa kepada Allah, yaitu memohon apa
saja kepada Allah. Doa merupakan inti ibadah, karena ia merupakan pengakuan
akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan
kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan doa dalam ajaran Islam
sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan akal manusia. Oleh karena
itu, berusaha dan berdoa merupakan dua sisi tugas hidup manusia yang bersatu
secara utuh dalam aktifitas hidup setiap muslim.
Orang yang tidak pernah berdoa adalah orang
yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang
sebagai orang yang sombong; suatu perilaku yang tidak disukai Allah.
d.
Tawakal kepada Allah, yaitu berserah
diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat
dari suatu keadaan.
“Dan
kepunyaan Allah-lah segala rahasia langit dan bumi, dan kepada-Nyalah
dikembalikan segala urusan. Oleh karena itu sembahlah Dia dan bertakwalah
kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan melupakan apa yang kamu
kerjakan.” (Hud,
11:123)
Tawakal bukanlah menyerah kepada keadaan,
sebaliknya tawakal mendorong orang untuk bekerja keras karena Allah tidak
menyia-nyiakan manusia. Setelah bekerja keras apa pun hasilnya akan diterimanya
sebagai sesuatu yang terbaik bagi dirinya, tidak kecewa atau putus asa.
e.
Tawaduk kepada Allah adalah rendah hati
di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah Yang
Mahakuasa, oleh karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong,
tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada
Allah. Nabi bersabda :
“Sedekah
tidak mengurangi harta dan Allah tidak menambah selama kehormatan pada
seseorang yang memberi maaf. Dan tidak seorang yang tawaduk secara ikhlas karena
Allah, melainkan dia dimuliakan Allah.” (Hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah)
Oleh karena itu tidak ada alasan bagi
manusia untuk tidak bertawaduk kepada Allah karena manusia diciptakan dari
bahan yang hina nilainya, yaitu tanah.
2. Akhlak kepada manusia
a. Akhlak kepada diri sendiri
1)
Sabar adalah perilaku sesorang terhadap
dirinya sendiri sebagai hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap
apa yang menimpanya. Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi
larangan, dan ketika musibah dari Allah.
Sabar melaksanakan perintah adalah sikap
menerima dan melaksanakan segala perintah tanpa pilih -pilih dengan ikhlas.
Sedangkan sabar dalam menjauhi larangan Allah adalah berjuang mengendalikan
diri untuk meninggalkannya. Sabar terhadap musibah merupakan gambaran jiwa yang
tenang dan keyakinan yang tinggi terhadap Allah, karena itu pantaslah kalau
Allah menghapus dosa-dosanya sebagaiman asabda Nabi :
“Tidak
ada seorang muslim yang terkena suatu gangguan, baik berupa duri atau lebih
dari itu, melainkan akan menghapus kesalahannya dan menggugurkan dosa-dosanya
sebagaimana gugurnya daun dari pohon.”
(Hadis
riwayat Bukhar dan Muslim)
2)
Syukur adalah sikap berterima kasih atas
pemberian nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan
dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah memuji Allah
dengan bacaan hamdalah, sedangkan
syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan nikmat
Allah sesuai dengan keharusannya, seperti bersyukur diberi penglihatan dengan
menggunakannya untuk membaca ayat-ayat Allah baik yang tersurat dalam Alquran
maupun yang tersirat pada alam semesta.
Orang yang suka bersyukur terhadap nikmat
Allah akan ditambah nikmat yang diterimanya sebagaimana firman-Nya :
“Kalau
kalian bersyukur, tentu Aku akan menambah (nikmat) untukmu dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
(Ibrahim, 14:7)
3)
Tawaduk, yaitu rendah hati, selalu
menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang tua, muda, kaya atau miskin.
Sikap tawaduk lahir dari kesadaran akan hakikat dirinya sebagai manusia yang
lemah dan serba terbatas yang tidak layak untuk bersikap sombong dan angkuh di
muka bumi. Allah berfirman :
“Janganlah
kamu palingkan mukamu dari manusia dan jangan kamu berjalan di muka bumi dengan
sombong.” (Luqman,
31:18)
Sikap tawaduk melahirkan ketenangan jiwa,
menjauhkan dari sifat iri dan dengki yang menyiksa diri sendiri dan tidak
menyenangkan orang lain.
b. Akhlak kepada ibu bapak
Akhlak
kepada ibu bapak adalah berbuat baik kepada keduanya (birrul walidain) dengan
ucapan dan perbuatan. Allah mewariskan agar manusia berbuat baik kepada kedua
ibu bapak sebagaimana firman-Nya :
“Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua ibu bapaknya, ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Ku-lah kembalimu.” (Luqman, 31:14)
Dalam
ayat di atas Allah menyuruh manusia untuk berbakti kepada ibu bapak dengan cara
mengajak manusia untuk menghayati pengorbanan yang diberikan ibu ketika
mengandung, melahirkan, merawat dan mendidik anaknya. Karena itu doa yang
diajarkan Allah untuk orang tua diungkapkan sedemikian rupa dengan mengenang
jasa mereka :
“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua (orang tuamu) dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah : “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik dan merawatku dengan penuh kasih
sayang ketika aku kecil.” (Al-Isra, 17:24)
Berbuat
baik kepada ibu bapak dibuktikan dalam bentuk-bentuk perbuatan antara lain :
·
Menyayangi dan mencintai ibu bapak
sebagai bentuk terima kasih dengan cara bertutur kata yang sopan dan lemah
lembut,
·
Menaati perintah,
·
Meringankan beban,
·
Menyantumi mereka jika sudah tua dan
tidak mampu lagi berusaha.
Berbuat baik kepada orang tua tidak hanya
ketika mereka hidup, tetapi terus berlangsung walaupun mereka telah meninggal
dunia dengan cara mendoakan dan meminta ampunan untuk mereka, mencapai janji
mereka yang belum terpenuhi, meneruskan silaturahmi dengan sahabat-sahabat
sewaktu mereka hidup. Hal ini diungkapkan Nabi :
Dari
Abi Usaid ia berkata : Ketika kami duduk di sisi Rasulullah saw., tiba-tiba
datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah seraya bertanya : “Ya Rasulullah,
apakah masih bisa saya berbuat baik kepada kedua ibu bapakku sedangkan mereka
telah meninggal dunia?”
Rasulullah
menjawab : “Ya, (yaitu. dengan jalan) mendoakan keduanya, meminta ampun bagi
keduanya, menepati janji keduanya, memelihara silaturahmi yang pernah dibuat
keduanya dan memuliakan teman-temannya. (Hadis riwayat Abu Daud)
c. Akhlak kepada keluarga
Akhlak
terhadap keluarga adalah mengembangkan kasih sayang di antara anggota keluarga
yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi. Komunikasi dalam keluarga diungkapkan
dalam perhatian baik melalui kata-kata, isyarat-isyarat, maupun perilaku.
Komunikasi yang didorong oleh rasa kasih sayang yang tulus akan dirasakan oleh
seluruh anggota keluarga. Apabila kasih sayang telah mendasari komunikasi orang
tua dengan anak, maka akan lahir wibawa pada orang tua. Demikian sebaliknya,
akan lahir kepercayaan orang tua pada anak. Oleh karena itu kasih sayang harus
menjadi muatan utama dalam komunikasi semua pihak dalam keluarga.
Dari
komunikasi semacam itu akan lahir saling keterikatan batin, keakraban, dan
keterbukaan di antara anggota keluarga dan menghapuskan kesenjangan di antara
merka. Dengan demikian rumah bukan menjadi tempat tinggal (home) yang damai dan menenangkan, menjadi surga bagi para
penghuninya. Melalui komunikasi seperti itu pula dilakukan pendidikan dalam
keluargam yaitu menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak sebagai landasan
bagi pendidikan yang akan terima pada masa-masa selanjutnya.
Pendidikan
yang ditanamkan dalam keluarga akan menjadi ukuran utama bagi anak dalam
menghadapi pengaruh yang datang kepada mereka di luar rumah. Dengan dibekali
nilai-nilai dari rumah, anak-anak dapat menjaring segala pengaruh yang datang
kepadanya. Sebaliknya anak-anak yang tidak dibekali nilai dari rumah, jiwanya
kosong dan akan mudah sekali terpengaruh oleh lingkungan di luar rumah. Inilah
yang dimaksud dengan ayat :
“Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) ada lah benar-benar kezaliman yang besar.”
(Luqman, 31:13)
Nilai
esensial yang dididikkan kepada anak di dalam keluarga adalah aqidah, yaitu
keyakinan tentang eksitensi Allah. Apabila keyakinan terhadap Allah ini telah
tertanam dalam diri anak sejak dari rumah, maka kemana pun ia pergi dan apa pun
yang dilakukannya akan hati-hati dan waspada karena merasa diawasi oleh Allah.
3.
Akhlak
kepada lingkungan hidup
Misi
Agama Islam adalah mengembangkan rahmat bukan hanya kepada manusia tetapi juga
kepada alam dan lingkungan hidup, sebagaimana firman Allah :
“Tidaklah
Kami mengutus engkau (Muhammad)melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh
alam.” (Al-Anbiyaa’,
21:107)
Misi
tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah di
muka bumi, yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan, mengelola, dan
melestarikan alam. Berakhlak kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan
mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya.
Memakmurkan
alam adalah mengelola sumber daya sehingga dapat memberi manfaat bagi
kesejahteraan manusia tanpa merugikan alam itu sendiri. Allah menyediakan bumi
yang subur ini untuk disikapi oleh manusia dengan kerja keras mengolah dan
memeliharanya sehingga melahirkan nilai tambah yang tinggi sebagaimana
firman-Nya:
“Dia
menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian sebagai pemakmurnya.” (Hud, 11:61)
Kekayaan
alam yang berlimpah disediakan Allah untuk disikapi dengan cara mengambil dan
memberi manfaat dari dan kepada alam serta melarang segala bentuk perbuatan
yang merusakkan alam. Firman Allah :
“...
dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qasas, 28:77)
Alam dan lingkungan
yang terkelola dengan baik dapat memberi manfaat yang berlipat-lipat,
sebaliknya alam yang dibiarkan merana atau hanya diambil manfaatnya akan
mendatangkan malapetaka bagi manusia.
Akibat akhlak yang
buruk terhadap lingkungan dapat disaksikan dengan jelas bagaimana hutan yang
dieksploitasi tanpa batas melahirkan malapetaka kebekaran hutan yang
menghancurkan hutan dan habitat hewan-hewannya. Eksploitasi kekayaan laut yang
tanpa memperhitungkan kelestarian ekologi
laut melahirkan kerusakan hebat habitat hewan laut.
Semua itu karena
semata-mata mengejar keuntungan ekonomis yang bersifat sementara, mendatangkan
kerusakan alam yang parah yang tidak bisa direhabilitasi dalam waktu puluhan
bahkan ratusan tahun.
Inilah persoalan yang
dihadapi oleh manusia pada abad ini, apabila tidak diatasi akan dapat menghancurkan
lingkungan sekaligus mendatangkan malapetaka yang hebat bagi manusia itu
sendiri. Firman Allah :
“Telah
tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Ruum, 30:41)
Kerusakan alam dan ekosistem di
lautan dan daratan terjadi akibat manusia tidak sadar, sombong, egois, rakus,
dan angkuh; bentuk akhlak terhadap lingkungan yang buruk dan sangat tidak
Terpuji.
Referensi:
Toto
Suryana, Drs, M.Pd, dkk.1997. Pendidikan
Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Bandung:Tiga Mutiara.
0 komentar:
Posting Komentar