Sejarah Singkat
Penegakan HAM di Indonesia
HAM telah dikenal di Indonesia sejak lama. Pada abad ke
-15 HAM sudah ditulis dalam kitab-kitab adat Bugis Kuno (Lontara). Dalam Lontara
itu antara lain ditulis tentang hak hidup dan hak kebebasan. Di Minangkabau pun
sejak dulu telah dikenal adanya hak untuk protes terhadap kebijakan yang tidak
adil yang dikeluarakan oleh raja, dan hak untuk meninggalkan tempat tinggal. Kedua
hak tersebut sesungguhnya setara dengan hak untuk melakukan pembangkangan dan
hak untuk bebas bergerak. Demikian pula sejak lama di Jawa telah dikenal hak
untuk tinggal di wilayah lain sebagai protes kepada pejabat . dikenal pula hak
protes kepada penguasa. Itu semua menunjukkan bahwa HAM sudah lama ada di
Indonesia. Namun, hal itu tidak banyak diketahui karena kurang dipublikasikan.
Meskipun HAM telah dikenal sejak lama, pemikiran modern
tentang HAM di Indonesia baru muncul pada abad ke-19. Raden Ajeng Kartini
adalah orang Indonesia pertama yang secara jelas mengungkapkan pemikiran
mengenai HAM. Pemikiran itu diungkapkan dalam surat-surat yang ditulisnya 40
tahun sebelum proklamasi kemerdekaan.
Gagasan mengenai perlunya HAM selanjutnya berkembang
dalam Sidang BPUPKI. Dalam sidang itu, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, dan
Sukiman merupakan tokoh yang gigih membela agar HAM diatur secara luas dalam
UUD 1945. Akan tetapi, upaya mereka kurang berhasil. HAM hanya sedikit diatur
dalam UUD 1945.sementara itu, Konstitusi RIS dan UUDS 1950 sesungguhnya
mengatur HAM secara menyeluruh. Namun kedua konstitusi itu hanya sebentar saja.
HAM sesungguhnya juga pernah dibahas sangat intens dalam
sidang Konstituante 1956-1959. Namun, sebelum Konstituante selesai bersidang,
Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak itu Indonesia kembali
menggunakan UUD 1945.
Pelaksanaan HAM berdasarkan UUD 1945 jauh dari memuaskan.
Hal itu terjadi baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Bahkan pada masa
Orde Baru pelanggaran HAM mencapai puncaknya. Ini terjadi terutama karena HAM
dianggap sebagai paham liberal (Barat) yang bertentangan dengan budaya timur
dan Pancasila. Karena itu, HAM hanya diakui secara minimal. Pada tahun 1993
dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. namun, karena kondisi politik,
Komisi tersebut tidak bisa berfungsi dengan baik. Berbagai pelanggaran HAM
terus terjadi, bahkan disinyalir terjadi pula berbagai pelanggaran HAM berat. Hali
itu akhirnya mendorong munculnya gerakan reformasi untuk mengakhiri kekuasaan
Orde Baru.
Memasuki Era Reformasi, ada kemajuan dalam penegakan HAM.
Kemajuan itu, misalnya, berupa membaiknya iklim kebebasan dan lahirnya berbagai
dokumen HAM yang lebih baik. beberapa dokumen itu antara lain: UUD 1945 hasil
amandemen, Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia , dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia. Demikian pula muncul lembaga Peradilan HAM.
Yang cukup melegakan, pada tahun 2005 pemerintah juga
meratifikasi dua instrumen sangat penting dalam penegakan HAM, yaitu: Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menjadi UU No.11 tahun
2005, dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik menjadi UU
No.12 tahun 2005.
Penanganan Beberapa
Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia ada yang
telah diproses di pengadilan, antara lain: kasus Marsinah, kasus Timor-Timur,
dan kasus Tanjung Priok. Berikut gambaran sepintas mengenai penanganan beberapa
dari kasus-kasus tersebut.
·
Kasus Marsinah
Marsinah
adalah karyawati PT CPS. Ia adalah seseorang aktivis buruh. Mayat Marsinah
ditemukan tanggal 9 Mei 1993 di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Kabupaten
Nganjuk, Jawa Timur. Diduga keras, ia tewas dibunuh akibat keterlibatannya dalam
demonstrasi buruh di PT CPS tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Tanggal 30 September 1993
dibentuk Tim Terpadu untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
pembunuhan Marsinah. Tim tersebut menangkap, memeriksa, dan mengajukan 10 orang
yang diduga terlibat dalam pembunuhan Marsinah. Persidangan berlangsung sejak
persidangan tingkat pertama, banding, dan kasasi. Dalam persidangan kasasi di
Mahkamah Agung, semua terdakwa ternyata dibebaskan dari segala dakwaan, alias
bebas murni. Putusan tersebut menimbulkan ketidakpuasan meluas di kalangan
masyarakat. Tahun 1993, almarhumah Marsinah ditetapkan sebagai penerima Yap
Thien Hien Award. Almarhumah dinilai sebagai sosok yang sangat gigih membela Ham
kaum buruh, walau harus menerima risiko mati dibunuh.
·
Kasus Tanjung Priok
Kasus
Tanjung Priok terjadi pada tanggal 12 September 1984. Menurut catatan media
massa, korban yang jatuh sebanyak 79 orang. Korban tersebut terdiri 54 orang
yang mengalami luka-luka dan 24 orang meninggal. Menurut laporan Komnas HAM,
dalam kasus Tanjung Priok telah terjadi pelanggaran HAM berat berupa:
pembunuhan secara kilat, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan,
dan penghilangan orang secara paksa. Proses persidangan sudah dilangsungkan. Sebagaimana
dalam kasus Marsinah, para pelaku dibebaskan.
Sumber:
Bambang Suteng, dkk. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT.
Gelora Aksara Pratama.